PENGERTIAN SINRILI Teater rakyat di daerah Gowa dan Maros, Sulawesi Selatan, yang merupakan penuturan cerita lisan dengan iringan rebab. Kesenian yang lahir di tengah-tengah masyarakat ini hingga kini tidak jelas siapa penciptanya. Diperkirakan seni rakyat ini ada sejak jaman pemerintahan Raja Gowa X pada sekitar abad ke-17.
Mulanya sinrili hanya dipentaskan bila ada perintah dari raja dan lazimnya dimainkan di dalam istana. Tetapi ketika banyak rakyat yang me-nyukainya, sinrili mulai dimainkan di anjungan depan rumah bahkan di udara terbuka. Akibatnya seni teater ini berkembang dengan baik di kalangan rakyat biasa, dan masih bisa dijumpai hingga kini (1990) dalam upacara perkawinan adat, pesta panen, upacara membangun rumah, dll.
Penutur sinrili disebut pasinrili. Diiringi alunan rebab, ia menuturkan cerita-cerita kepahlawanan dan keagamaan, namun terkadang juga kisah tentang cinta. Cerita-cerita kepahlawanan umumnya berkisar tentang usaha raja-raja menentang penjajahan Belanda, sedangkan cerita keagamaan mengisahkan perkembangan agama Islam di Sulawesi Selatan dan norma-norma adat yang berlaku di masyarakat.
Keindahan menuturkan cerita sangat tergantung pada improvisasi penuturnya dan alunan nada rebab yang mengiringinya. Walaupun tema ceritanya berkisar tentang keagamaan, kisah humor kadang terselip di antaranya. Alunan musik rebab sebagai pengiring cerita sangat mempengaruhi pentas sinrili, terutama untuk menghanyutkan perasaan pendengarnya.
Harmoni alunan nada terdengar lembut dibarengi dengan cerita rakyat yang dikumandangkan. Cerita penuh nilai moral tersebut lugas dibawakan bersama alat musik tradisional tersebut. Sang pemain juga lengkap menggunakan pakaian adat Bugis Makassar. Bagian kepala dibungkus kain patonra. Sarung tenung juga melengkapi pakaian tradisional ini yang memang wajib dikenakan saat memainkan Sinrili.
Ya, Sinrilli. Sebuah alat musik tradisional Bugis Makassar ini memang harus dimainkan dengan duduk bersila lengkap dengan pakaian tradisional bagi sang pemainnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk semakin menguatkan nilai budaya dan adat yang ada pada sinrilli sehingga alunan nada menjadi harmoni.
Saat ini, alunan nada sinrili memang mulai jarang didengar. Perkembangan alat musik yang lebih modern membuat generasi penerus tidak mengenal alat musik tradisional yang satu ini. Padahal, Sinrili memiliki nilai budaya yang sangat besar. Dahulu, sinrili merupakan kebanggaan seniman Sulawesi Selatan. Sinrili digunakan pada setiap upacara-upacara rakyat dan kerajaan. Selain sebagai hiburan, pesan moral yang disampaikan melalui sinrili ini memang begitu tinggi.
Pada dasarnya, sinrili merupakan alat musik gesek yang sangat sederhana. Terbuat dari kayu pohon nangka, sinrili dilengkapi dengan kulit kambing dengan tiga senar yang membentang dari bahan kuningan. Untuk menggeseknya, digunakan ekor kuda. Meski dibuat dari bahan yang sangat sederhana, sinrili juga dapat menghasilkan nada dan melodi yang indah. Senar dan ekor kuda yang saling bergesekan menghasilkan bunyi sinrili yang mirip dengan bunyi alat musik kebab.
Sinrili memang sarat akan petuah-petuah bijak khas sastra budaya Makassar. Kesan serius jelas menyatu dalam lantunan irama musik yang cenderung monoton. Mendengarkan sinrili juga cenderung seperti mendengarkan orang berbicara dibandingkan menyanyi.
Meski saat ini sinrili sudah jarang didingarkan pada masyarakat umum, alat musik ini masih digunakan dalam acara-acara tertentu seperti acara kenegaraan. Selain itu, sebagai inventaris kekayaan karya budaya Indonesia, sinrili juga dijadikan sebagai alat diplomasi budaya di dunia internasional. Kesederhanaan yang sarat akan pesan moral didalamnya, seolah mencerminkan kebudayaan dan bangsa Indonesia seutuhnya.
Mulanya sinrili hanya dipentaskan bila ada perintah dari raja dan lazimnya dimainkan di dalam istana. Tetapi ketika banyak rakyat yang me-nyukainya, sinrili mulai dimainkan di anjungan depan rumah bahkan di udara terbuka. Akibatnya seni teater ini berkembang dengan baik di kalangan rakyat biasa, dan masih bisa dijumpai hingga kini (1990) dalam upacara perkawinan adat, pesta panen, upacara membangun rumah, dll.
Penutur sinrili disebut pasinrili. Diiringi alunan rebab, ia menuturkan cerita-cerita kepahlawanan dan keagamaan, namun terkadang juga kisah tentang cinta. Cerita-cerita kepahlawanan umumnya berkisar tentang usaha raja-raja menentang penjajahan Belanda, sedangkan cerita keagamaan mengisahkan perkembangan agama Islam di Sulawesi Selatan dan norma-norma adat yang berlaku di masyarakat.
Keindahan menuturkan cerita sangat tergantung pada improvisasi penuturnya dan alunan nada rebab yang mengiringinya. Walaupun tema ceritanya berkisar tentang keagamaan, kisah humor kadang terselip di antaranya. Alunan musik rebab sebagai pengiring cerita sangat mempengaruhi pentas sinrili, terutama untuk menghanyutkan perasaan pendengarnya.
Harmoni alunan nada terdengar lembut dibarengi dengan cerita rakyat yang dikumandangkan. Cerita penuh nilai moral tersebut lugas dibawakan bersama alat musik tradisional tersebut. Sang pemain juga lengkap menggunakan pakaian adat Bugis Makassar. Bagian kepala dibungkus kain patonra. Sarung tenung juga melengkapi pakaian tradisional ini yang memang wajib dikenakan saat memainkan Sinrili.
Ya, Sinrilli. Sebuah alat musik tradisional Bugis Makassar ini memang harus dimainkan dengan duduk bersila lengkap dengan pakaian tradisional bagi sang pemainnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk semakin menguatkan nilai budaya dan adat yang ada pada sinrilli sehingga alunan nada menjadi harmoni.
Saat ini, alunan nada sinrili memang mulai jarang didengar. Perkembangan alat musik yang lebih modern membuat generasi penerus tidak mengenal alat musik tradisional yang satu ini. Padahal, Sinrili memiliki nilai budaya yang sangat besar. Dahulu, sinrili merupakan kebanggaan seniman Sulawesi Selatan. Sinrili digunakan pada setiap upacara-upacara rakyat dan kerajaan. Selain sebagai hiburan, pesan moral yang disampaikan melalui sinrili ini memang begitu tinggi.
Pada dasarnya, sinrili merupakan alat musik gesek yang sangat sederhana. Terbuat dari kayu pohon nangka, sinrili dilengkapi dengan kulit kambing dengan tiga senar yang membentang dari bahan kuningan. Untuk menggeseknya, digunakan ekor kuda. Meski dibuat dari bahan yang sangat sederhana, sinrili juga dapat menghasilkan nada dan melodi yang indah. Senar dan ekor kuda yang saling bergesekan menghasilkan bunyi sinrili yang mirip dengan bunyi alat musik kebab.
Sinrili memang sarat akan petuah-petuah bijak khas sastra budaya Makassar. Kesan serius jelas menyatu dalam lantunan irama musik yang cenderung monoton. Mendengarkan sinrili juga cenderung seperti mendengarkan orang berbicara dibandingkan menyanyi.
Meski saat ini sinrili sudah jarang didingarkan pada masyarakat umum, alat musik ini masih digunakan dalam acara-acara tertentu seperti acara kenegaraan. Selain itu, sebagai inventaris kekayaan karya budaya Indonesia, sinrili juga dijadikan sebagai alat diplomasi budaya di dunia internasional. Kesederhanaan yang sarat akan pesan moral didalamnya, seolah mencerminkan kebudayaan dan bangsa Indonesia seutuhnya.