Bugis Makassar, Sistem Mata Pencaharian Masyarakat Suku Bugis, Karena letaknya yang berada di daerah dataran yang subur kebanyakan masyarakat bugis bermata pencaharian sebagai petani. Faktor ini sangat di dukung oleh kesuburan tanah yang sangat sehingga menjadikan wilayah suku bugis menjadi wilayah pertanian.mata pencaharian lainnya di suku bugis adalah nelayan, selain terletak di dataran yang subur suku bugis juga mempunyai wilayah di pesisir yang di anugrahi banyak sumber daya yang melimpah di lautan. Hal ini di manfaatkan masyarakat untuk mencari penghasilan di lautan.
Mata pencaharian terakhir yang banyak di geluti oleh masyarakat bugis adalah pedagang karena hasil dari para petani dan nelayan akan di distribusikan ke pedagang pedagang, lalu pedagang mengumpulkan jumlah yang lebih besar dan di distribusikan kembali ke masyarakat umum suku bugis. Dari semua mata pencaharian semua inilah masyarakat suku bugis mendapatkan perekonomian untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya.
Selain itu pada masa sekarang masyarakat suku bugis juga sudah banyak yang mengenyam dunia pendidikan dan masuk ke dunia birokrasi pemerintahan.jadi dari birokrasi yang telah dijalankan sebagian kecil masyarakat bugis mampu mendapatkan perekonomian yang baik. Tapi mata pencaharian yang sangat umum adalah petani, hal ini dikarenakan banyak kebutuhan kebutuhan masyarakat suku bugis sehari harinya dihasilkan oleh lading pertanian misalnya seperti beras, jagung, tembakau,
Demikian juga halnya dalam budaya masyarakat tani Bugis. Sebelum mengenal agama Islam, mereka telah memiliki kepercayaan asli (ancestor belief) dan menyebut Tuhan dengan nama Dewata SeuwaE’, yang berarti Tuhan kita yang satu. Bahasa yang digunakan untuk menyebut nama Tuhan itu menunjukkan orang Bugis memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara monoteistis.
Istilah Dewata SeuwaE dalam aksara lontara, dibaca dengan bermacam ungkapan, misalnya Dewata, Dewangta, dan Dewatangna yang merupakan cerminan dari sifat dan esensi Tuhan dalam pandangan teologi orang Bugis. De’watangna berarti tidak berwujud, sedangkan De’wangta atau De’batang berarti yang tidak bertubuh.
Kepercayaan orang Bugis kepada Dewata SeuwaE hingga kini masih berbekas dalam bentuk tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli tersebut mempunyai konsep tentang alam semesta yang diyakini masyarakat pendukungnya terdiri atas tiga dunia, yaitu dunia atas (boting langi), dunia tengah (lino atau ale kawa) yang dihuni manusia, tanaman dan ternak, serta dunia bawah (peretiwi). Setiap dunia mempunyai penghuninya masing – masing, satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu berakibat pula terhadap kelangsungan kehidupan manusia.
Dalam perspektif usaha/kerja, masyarakat Bugis umumnya juga memaknai hidup ini dengan kerja keras (reso’/jamang). Bahkan dalam adat istiadat orang Bugis, makna reso’/jamang merupakan bagian dari kehormatan (siri’). Dalam pandangan orang Bugis, sangat memalukan jika seorang yang sudah cukup umur namun tidak memiliki pekerjaan, bahkan menjadi beban bagi orang lain (masiri narekko tuo mappale). Sehingga tidak mengherankan jika dalam kebudayaan petani Bugis memegang teguh prinsip reso’ temmangingngi nalletei pammase dewata (usaha yang sungguh – sungguh diiringi ridha Yang Maha Kuasa), dan inilah yang menjadikan suku Bugis terkenal sebagai salah satu suku pekerja ulet disegala bidang, termasuk dalam bidang usahatani. Terlebih lagi Sulawesi Selatan pada umumnya adalah sentra tanaman pangan, dan sawah adalah salah satu tolok ukur wibawa suku Bugis.
Budaya kerja masyarakat tani suku Bugis begitu melekat pada diri pribadi mereka, sehingga kemanapun merantau (sompe’), prinsip kerja keras menjadi bagian hidup mereka, dan ikut mewarnai hidupnya. Fakta menunjukkan, suku Bugis terkenal sebagai pelaut ulung dalam mengarungi lautan, pekerja ulet dalam bidang usahatani, dan pengusaha yang sabar dalam menjalankan usahanya.
Salah satu corak budaya tani orang Bugis adalah mappataneng, tradisi berusahatani ala Bugis yang dilakukan suku Bugis di Kalimantan, khususnya Kabupaten Nunukan. Tradisi mappataneng di lakukan oleh masyarakat tani suku Bugis yaitu bertanam padi di sawah secara berkelompok. Sebelum acara mappattaneng dilaksanakan, tokoh adat atau orang yang dituakan/rohaniawan (panrita) akan mengundang petani setempat untuk tudang sipulung (bermusyawarah) menentukan waktu bertanam. Dalam acara ini biasanya unsur pemerintah ikut dilibatkan, yaitu PPL maupun aparat desa/kecamatan setempat.
Setelah waktu tanam ditetapkan, maka acara mappataneng akan didahului dengan pembacaan do’a tolak bala (doa salama’) dengan maksud agar usahataninya terbebas dari segala bencana dan serangan hama – penyakit tanaman. Dalam pembacaan do’a tolak bala ini, disajikan berbagai hasil bumi dari panen tahun lalu.
Do’a biasanya dibaca di rumah petani yang bersangkutan, atau biasa juga dibawa ke sawah secara kolektif. Dalam kegiatan ini, benih padi yang akan ditanam diisi daun penno penno, diturutsertakan dalam acara pembacaan do’a tersebut. Daun penno – penno adalah jenis daun yang biasa tumbuh di sekitar rumah dan disertakan dalam upara tersebut dengan harapan hasil panen akan melimpah ruah (kata penno dalam bahasa Bugis artinya penuh). Setelah upacara doa salama’ di laksanakan, benih padi lalu disebar ke pesemaian. Selanjutnya teknik budidaya usahatani pada padi sawah tetap menggunakan petunjuk PPL setempat.
Jika waktu panen telah tiba, maka dilakukan acara mappasangki. Seperti mappataneng, acara ini juga dilakukan secara bergotong – royong dengan melibatkan petani lainnya. Mereka dengan cara bergantian memanen padi di sawah. Hal yang menarik dalam kegiatan ini adalah terjadi interaksi dari dua pola budaya berbeda, dimana seringkali petani Bugis mengundang petani suku Tidung untuk ikut massangki di sawah. Petani yang ikut membantu tidak diberi upah, namun diberi bagian sedikit hasil panen agar mereka bersama – sama merasakan nikmatnya berre (beras) hasil panen ase (padi) baru.
Jika seluruh padi telah dituai, maka mereka kembali melakukan acara syukuran (do’a salama) sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah melimpahkan rahmat dan kurunia sehingga hasil panen dapat dinikmati oleh para petani.
Seiring perjalanan waktu, dan interaksi diantara berbagai budaya di Nunukan, serta terjadinya asimilasi diantara berbagai suku yang ada, acara mappataneng dan mappassangki tidak lagi dilaku kan secara menyeluruh oleh petani Bugis di Nunukan. Namun di beberapa tempat, seperti di Sebatik, masih dilakukan oleh beberapa petani Bugis sebagai warisan leluhur mereka dari Sulawesi Selatan.
Mata pencaharian terakhir yang banyak di geluti oleh masyarakat bugis adalah pedagang karena hasil dari para petani dan nelayan akan di distribusikan ke pedagang pedagang, lalu pedagang mengumpulkan jumlah yang lebih besar dan di distribusikan kembali ke masyarakat umum suku bugis. Dari semua mata pencaharian semua inilah masyarakat suku bugis mendapatkan perekonomian untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya.
Selain itu pada masa sekarang masyarakat suku bugis juga sudah banyak yang mengenyam dunia pendidikan dan masuk ke dunia birokrasi pemerintahan.jadi dari birokrasi yang telah dijalankan sebagian kecil masyarakat bugis mampu mendapatkan perekonomian yang baik. Tapi mata pencaharian yang sangat umum adalah petani, hal ini dikarenakan banyak kebutuhan kebutuhan masyarakat suku bugis sehari harinya dihasilkan oleh lading pertanian misalnya seperti beras, jagung, tembakau,
Demikian juga halnya dalam budaya masyarakat tani Bugis. Sebelum mengenal agama Islam, mereka telah memiliki kepercayaan asli (ancestor belief) dan menyebut Tuhan dengan nama Dewata SeuwaE’, yang berarti Tuhan kita yang satu. Bahasa yang digunakan untuk menyebut nama Tuhan itu menunjukkan orang Bugis memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara monoteistis.
Istilah Dewata SeuwaE dalam aksara lontara, dibaca dengan bermacam ungkapan, misalnya Dewata, Dewangta, dan Dewatangna yang merupakan cerminan dari sifat dan esensi Tuhan dalam pandangan teologi orang Bugis. De’watangna berarti tidak berwujud, sedangkan De’wangta atau De’batang berarti yang tidak bertubuh.
Kepercayaan orang Bugis kepada Dewata SeuwaE hingga kini masih berbekas dalam bentuk tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli tersebut mempunyai konsep tentang alam semesta yang diyakini masyarakat pendukungnya terdiri atas tiga dunia, yaitu dunia atas (boting langi), dunia tengah (lino atau ale kawa) yang dihuni manusia, tanaman dan ternak, serta dunia bawah (peretiwi). Setiap dunia mempunyai penghuninya masing – masing, satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu berakibat pula terhadap kelangsungan kehidupan manusia.
Dalam perspektif usaha/kerja, masyarakat Bugis umumnya juga memaknai hidup ini dengan kerja keras (reso’/jamang). Bahkan dalam adat istiadat orang Bugis, makna reso’/jamang merupakan bagian dari kehormatan (siri’). Dalam pandangan orang Bugis, sangat memalukan jika seorang yang sudah cukup umur namun tidak memiliki pekerjaan, bahkan menjadi beban bagi orang lain (masiri narekko tuo mappale). Sehingga tidak mengherankan jika dalam kebudayaan petani Bugis memegang teguh prinsip reso’ temmangingngi nalletei pammase dewata (usaha yang sungguh – sungguh diiringi ridha Yang Maha Kuasa), dan inilah yang menjadikan suku Bugis terkenal sebagai salah satu suku pekerja ulet disegala bidang, termasuk dalam bidang usahatani. Terlebih lagi Sulawesi Selatan pada umumnya adalah sentra tanaman pangan, dan sawah adalah salah satu tolok ukur wibawa suku Bugis.
Budaya kerja masyarakat tani suku Bugis begitu melekat pada diri pribadi mereka, sehingga kemanapun merantau (sompe’), prinsip kerja keras menjadi bagian hidup mereka, dan ikut mewarnai hidupnya. Fakta menunjukkan, suku Bugis terkenal sebagai pelaut ulung dalam mengarungi lautan, pekerja ulet dalam bidang usahatani, dan pengusaha yang sabar dalam menjalankan usahanya.
Salah satu corak budaya tani orang Bugis adalah mappataneng, tradisi berusahatani ala Bugis yang dilakukan suku Bugis di Kalimantan, khususnya Kabupaten Nunukan. Tradisi mappataneng di lakukan oleh masyarakat tani suku Bugis yaitu bertanam padi di sawah secara berkelompok. Sebelum acara mappattaneng dilaksanakan, tokoh adat atau orang yang dituakan/rohaniawan (panrita) akan mengundang petani setempat untuk tudang sipulung (bermusyawarah) menentukan waktu bertanam. Dalam acara ini biasanya unsur pemerintah ikut dilibatkan, yaitu PPL maupun aparat desa/kecamatan setempat.
Setelah waktu tanam ditetapkan, maka acara mappataneng akan didahului dengan pembacaan do’a tolak bala (doa salama’) dengan maksud agar usahataninya terbebas dari segala bencana dan serangan hama – penyakit tanaman. Dalam pembacaan do’a tolak bala ini, disajikan berbagai hasil bumi dari panen tahun lalu.
Do’a biasanya dibaca di rumah petani yang bersangkutan, atau biasa juga dibawa ke sawah secara kolektif. Dalam kegiatan ini, benih padi yang akan ditanam diisi daun penno penno, diturutsertakan dalam acara pembacaan do’a tersebut. Daun penno – penno adalah jenis daun yang biasa tumbuh di sekitar rumah dan disertakan dalam upara tersebut dengan harapan hasil panen akan melimpah ruah (kata penno dalam bahasa Bugis artinya penuh). Setelah upacara doa salama’ di laksanakan, benih padi lalu disebar ke pesemaian. Selanjutnya teknik budidaya usahatani pada padi sawah tetap menggunakan petunjuk PPL setempat.
Jika waktu panen telah tiba, maka dilakukan acara mappasangki. Seperti mappataneng, acara ini juga dilakukan secara bergotong – royong dengan melibatkan petani lainnya. Mereka dengan cara bergantian memanen padi di sawah. Hal yang menarik dalam kegiatan ini adalah terjadi interaksi dari dua pola budaya berbeda, dimana seringkali petani Bugis mengundang petani suku Tidung untuk ikut massangki di sawah. Petani yang ikut membantu tidak diberi upah, namun diberi bagian sedikit hasil panen agar mereka bersama – sama merasakan nikmatnya berre (beras) hasil panen ase (padi) baru.
Jika seluruh padi telah dituai, maka mereka kembali melakukan acara syukuran (do’a salama) sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah melimpahkan rahmat dan kurunia sehingga hasil panen dapat dinikmati oleh para petani.
Seiring perjalanan waktu, dan interaksi diantara berbagai budaya di Nunukan, serta terjadinya asimilasi diantara berbagai suku yang ada, acara mappataneng dan mappassangki tidak lagi dilaku kan secara menyeluruh oleh petani Bugis di Nunukan. Namun di beberapa tempat, seperti di Sebatik, masih dilakukan oleh beberapa petani Bugis sebagai warisan leluhur mereka dari Sulawesi Selatan.