Pakacaping Atau Biasa Juga Disebut Kecapi Bugis Makassar adalah Musik instrumental tradisional Sulawesi Selatan yang diciptakan oleh seorang pelaut Bugis Makassar, Pakacaping adalah salah satu musik instrument tradisional daerah Sulawesi Selatan yang dikenal dalam etnis Makassar, Bugis, dan Mandar. Alat musik ini mirip dengan hasapi (Tapanuli), atau kecapi untuk etnis Sunda dan Jawa.Secara etimologis, Pakacaping diartikan sebagai pemain kecapi yang berasal dari dua suku kata yaitu pa berarti ‘pemain’ dan kata Kacaping berarti ‘instrumen kecapi’. Alat musik ini terbuat dari kayu berdawai dua dan berbentuk menyerupai perahu.
Menurut sejarahnya kecapi diciptakan oleh seorang pelaut Bugis Makassar yang telah berhari-hari berlayar di laut lepas meninggalkan gadis pujaan hatinya di darat, tiba-tiba badai datang dan tali perahu yang terikat dilayar berbunyi diterpa angin kencang. Bunyi yang amat indah menimbulkan kerinduan mendalam pada kekasih yang ditinggal. Begitu badai berlalu, sang pelaut mengambil sebagian tali layarnya lalu diikatkan pada dayung perahu, kemudian dipetik dengan iringan lagu. Setelah kembali ke darat, dibuatlah sebuah alat bunyi yang berbentuk perahu dua tali yang dipetik dan dibuatkan syair-syair (Kelong) berpantun dengan ketentuan 8.8.5.8.
Awalnya Pakacaping merupakan permainan untuk menghibur diri sendiri di waktu senggang. Pemain kecapi menikmati kobbi’-kobbi’na (petikan-petikannya sendiri) tanpa ada kebutuhan pendengar. Namun dalam perkembangannya Pakacaping menjadi seni pertunjukan dalam berbagi konteks adat istiadat assua’-sara’ (keramaian).
Bagi masyarakat Gowa Sulawesi-Selatan misalnya, Pakacaping adalah bagian yang tak terpisahkan dari tradisi adat a'gau-gau. Hadirnya seni pertunjukan dalam setiap upacara adat merupakan bagian dari semangat untuk menjamu dan menghormati setiap orang yang datang menghadiri pesta upacara yang dilaksanakan. sampai saat ini masih dapat disaksikan lewat acara-acara adat-istiadat, seperti pesta adat upacara perkawinan, khitanan, sunatan, hari-hari besar kerajaan, hari-hari besar kenegaraan,dalam rangka festival budaya, dan bahkan dalam acara pertunjukan yang dikelola khusus secara konvensional.
Dalam memainkan kacaping, seorang pemain biasanya duduk bersila, memangku alat (kecapi) menghadap penonton dengan menggunakan kostum berupa ikat kepala (patonro), baju balla dada, celana baroci dan sarung yang diikatkan dipinggang, memetik kecapi, lagu mana yang akan di mainkan. Dari teknik memetik, teknik improvisasi dan teknik penampilan apalagi vocal yang indah, akan memancing penonton dan pendengar untuk turut bereaksi atau membalas nyanyian dari Pakacaping. Biasanya, makin larut malam, semakin seru karena syair-syair yang disampaikan semakin hangat.
Kecapi Kuno
Kecapi kuno ini ditemukan oleh nenek moyang bangsa Tionghoa pada zaman Dinasti Zhou lebih dari 3 ribu tahun yang lalu. Pada zaman dahulu disebut sebagai “Qin” atau “Yao Qin” dan merupakan instrumen putar kuno Tiongkok. Orang zaman dahulu sebelum main kecapi harus mandi dan mengganti baju, kemudian baru main kecapi dengan menaruh kecapi di atas bahu atau meja. Tangan kiri putar senar, tangan kanan tekan senar, dan tuntutan ketepatan bunyi musik sangat ketat.
Hasapi
Hasapi, atau gitar Batak memiliki kemiripan dengan Kacaping Bugis Makassar, memiliki dua dawai. Hasapi Batak memiliki keunikan tersendiri, dalam tangga nada, jelas, ada pengaruh Barat. Misalnya, penyetelan dua dawainya itu. Tapi dalam struktur terutama dalam pengulangan melodi dan ritme, pengaruh Barat itu hilang. Hasapi di batak dibedakan atas dua yaitu hasapi ende dan hasapi doal (alat petik dua senar)
Bagi masyarakat Gowa Sulawesi-Selatan misalnya, Pakacaping adalah bagian yang tak terpisahkan dari tradisi adat a’gau-gau. Hadirnya seni pertunjukan dalam setiap upacara adat merupakan bagian dari semangat untuk menjamu dan menghormati setiap orang yang datang menghadiri pesta upacara yang dilaksanakan. sampai saat ini masih dapat disaksikan lewat acara-acara adat-istiadat, seperti pesta adat upacara perkawinan, khitanan, sunatan, hari-hari besar kerajaan, hari-hari besar kenegaraan,dalam rangka festival budaya, dan bahkan dalam acara pertunjukan yang dikelola khusus secara konvensional.
Dalam memainkan kacaping, seorang pemain biasanya duduk bersila, memangku alat (kecapi) menghadap penonton dengan menggunakan kostum berupa ikat kepala (patonro), baju balla dada, celana baroci dan sarung yang diikatkan dipinggang, memetik kecapi, lagu mana yang akan di mainkan. Dari teknik memetik, teknik improvisasi dan teknik penampilan apalagi vocal yang indah, akan memancing penonton dan pendengar untuk turut bereaksi atau membalas nyanyian dari Pakacaping. Biasanya, makin larut malam, semakin seru karena syair-syair yang disampaikan semakin hangat.[ki]
Menurut sejarahnya kecapi diciptakan oleh seorang pelaut Bugis Makassar yang telah berhari-hari berlayar di laut lepas meninggalkan gadis pujaan hatinya di darat, tiba-tiba badai datang dan tali perahu yang terikat dilayar berbunyi diterpa angin kencang. Bunyi yang amat indah menimbulkan kerinduan mendalam pada kekasih yang ditinggal. Begitu badai berlalu, sang pelaut mengambil sebagian tali layarnya lalu diikatkan pada dayung perahu, kemudian dipetik dengan iringan lagu. Setelah kembali ke darat, dibuatlah sebuah alat bunyi yang berbentuk perahu dua tali yang dipetik dan dibuatkan syair-syair (Kelong) berpantun dengan ketentuan 8.8.5.8.
Musik Tradisional Sulawesi Pakacaping
Awalnya Pakacaping merupakan permainan untuk menghibur diri sendiri di waktu senggang. Pemain kecapi menikmati kobbi’-kobbi’na (petikan-petikannya sendiri) tanpa ada kebutuhan pendengar. Namun dalam perkembangannya Pakacaping menjadi seni pertunjukan dalam berbagi konteks adat istiadat assua’-sara’ (keramaian).
Bagi masyarakat Gowa Sulawesi-Selatan misalnya, Pakacaping adalah bagian yang tak terpisahkan dari tradisi adat a'gau-gau. Hadirnya seni pertunjukan dalam setiap upacara adat merupakan bagian dari semangat untuk menjamu dan menghormati setiap orang yang datang menghadiri pesta upacara yang dilaksanakan. sampai saat ini masih dapat disaksikan lewat acara-acara adat-istiadat, seperti pesta adat upacara perkawinan, khitanan, sunatan, hari-hari besar kerajaan, hari-hari besar kenegaraan,dalam rangka festival budaya, dan bahkan dalam acara pertunjukan yang dikelola khusus secara konvensional.
Dalam memainkan kacaping, seorang pemain biasanya duduk bersila, memangku alat (kecapi) menghadap penonton dengan menggunakan kostum berupa ikat kepala (patonro), baju balla dada, celana baroci dan sarung yang diikatkan dipinggang, memetik kecapi, lagu mana yang akan di mainkan. Dari teknik memetik, teknik improvisasi dan teknik penampilan apalagi vocal yang indah, akan memancing penonton dan pendengar untuk turut bereaksi atau membalas nyanyian dari Pakacaping. Biasanya, makin larut malam, semakin seru karena syair-syair yang disampaikan semakin hangat.
Kecapi Kuno
Kecapi kuno ini ditemukan oleh nenek moyang bangsa Tionghoa pada zaman Dinasti Zhou lebih dari 3 ribu tahun yang lalu. Pada zaman dahulu disebut sebagai “Qin” atau “Yao Qin” dan merupakan instrumen putar kuno Tiongkok. Orang zaman dahulu sebelum main kecapi harus mandi dan mengganti baju, kemudian baru main kecapi dengan menaruh kecapi di atas bahu atau meja. Tangan kiri putar senar, tangan kanan tekan senar, dan tuntutan ketepatan bunyi musik sangat ketat.
Hasapi
Hasapi, atau gitar Batak memiliki kemiripan dengan Kacaping Bugis Makassar, memiliki dua dawai. Hasapi Batak memiliki keunikan tersendiri, dalam tangga nada, jelas, ada pengaruh Barat. Misalnya, penyetelan dua dawainya itu. Tapi dalam struktur terutama dalam pengulangan melodi dan ritme, pengaruh Barat itu hilang. Hasapi di batak dibedakan atas dua yaitu hasapi ende dan hasapi doal (alat petik dua senar)
Bagi masyarakat Gowa Sulawesi-Selatan misalnya, Pakacaping adalah bagian yang tak terpisahkan dari tradisi adat a’gau-gau. Hadirnya seni pertunjukan dalam setiap upacara adat merupakan bagian dari semangat untuk menjamu dan menghormati setiap orang yang datang menghadiri pesta upacara yang dilaksanakan. sampai saat ini masih dapat disaksikan lewat acara-acara adat-istiadat, seperti pesta adat upacara perkawinan, khitanan, sunatan, hari-hari besar kerajaan, hari-hari besar kenegaraan,dalam rangka festival budaya, dan bahkan dalam acara pertunjukan yang dikelola khusus secara konvensional.
Dalam memainkan kacaping, seorang pemain biasanya duduk bersila, memangku alat (kecapi) menghadap penonton dengan menggunakan kostum berupa ikat kepala (patonro), baju balla dada, celana baroci dan sarung yang diikatkan dipinggang, memetik kecapi, lagu mana yang akan di mainkan. Dari teknik memetik, teknik improvisasi dan teknik penampilan apalagi vocal yang indah, akan memancing penonton dan pendengar untuk turut bereaksi atau membalas nyanyian dari Pakacaping. Biasanya, makin larut malam, semakin seru karena syair-syair yang disampaikan semakin hangat.[ki]