Saat pulang kampung dan merayakan lebaran Idul Qurban bulan November tahun lalu. Setelah enam tahun tidak pulang kampung, terasa ada yang kurang dihari raya itu. Selain karena jamaah Shalat Ied yang kurang akibat berbedanya hari lebaran saat itu, masih ada satu hal yang saya rindukan. Suara, ya sebuah suara khas yang terdengar nyaring dan hanya dapat didengar dengan jelas saat Shalat Ied. Sungguh susah mendefenikan jenis suara tersebut. Jelasnya, suara ini muncul saat gerakan I’tidal (berdiri setelah dua sujud). Saat itulah, sarung-sarung sutera yang digunakan para kaum pria bergesekan dan menghasilkan suara yang indah.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang haram tidaknya memakai Sarung Sutera bagi pria, bagi penulis suara itu sangat khas dan membangkitkan kerinduan. Sayang suara tak adalah lagi, seiring mulai jarangnya kaum pria yang memakai sarung tersebut untuk Shalat Ied, lengkap dengan jas dan kopiah hitamnya. Tergeser oleh sarung-sarung berbahan katun dan lebih “berkelas” karena diiklankan di berbagai media.
Sarung. Lipa, begitu orang Bugis menyebutnya. Lipa adalah bagian dari kehidupan masyarakat Bugis-Makassar-Mandar-Toraja (BMMT). Lipa bukan saja merupakan busana tradisional masyarakat BMMT dalam berbagai acara adat. Sarung juga dipakai sebagai pelengkap ibadah, kerja, tidur, bahkan untuk bersenggama. Di Sulawesi sendiri, budaya menenun kain mulai berkembang pada tahun 1400 dengan corak garis vertikal dan horisontal. Kemudian tahun 1600 berkembanglah corak kotak-kotak seiring dengan masa kejayaan Islam di Sulawesi Selatan. .
Lipa bercorak kotak-kotak kemudian menjadi ciri khas corak lippa, baik sebagai corak maupun latar corak. Thommas Forrest (1987;80) dalam bukunya Voyage from Calcuta, menceritakan “Sarung Bugis, meski hanya terbuat dari selembar kain … dapat menutupi kepala hingga kaki orang yang mengenakannya, bahkan pada saat mereka tidur… motifnya yang kotak-kotak membuat kain itu serupa dengan kain Tartan (Skotlandia)”.
MOTIF PADA SARUNG BUGIS
Seperti halnya dengan kebanyakan kain dan sarung tenun dari berbagai penjuru Indonesia. Sarung Bugis juga memiliki motif atau corak sendiri, dalam bahasa Bugis disebut balo, yang juga bisa berarti hiasan atau warna. Corak ini menyiratkan simbol dan sarat kandungan nilai filosofi yang estetik dan eksotik.
MOTIF BALO RENNI
Disebut motif balo rennni, karena sarung ini sarat dengan garis-garis vertikal dan horizontal yang tipis dan menghasilkan ribuan kotak-kotak kecil pula. Warna, kombinasi warna dan kombinasi garis tersebut akan ditemui pada keseluruhan kain sarung ini. Kecuali pada bagian kapalanna (tumpal), bagian yang harus berada dibelakang, lurus dengan punggung sang pemakai. Pada bagian ini akan ditemui garis dan kotak-kotak dengan pilihan warna, kombinasi warna atau kombinasi garis yang berbeda. Sebagai pembeda antara bagian kapala dan watang (tubuh) sarung tersebut.
Sarung dengan motif ini biasanya memakai warna-warna terang yang lembut, seperti Bakko (merah jambu), Cui (Hijau Muda), mengingat yang memakainya adalah gadis, seseorang yang belum menikah. Dulu, bagi anda para pria yang ingin mencari perempuan Bugis untuk calon istri, rajinlah datang ke hajatan-hajatan di tanah Bugis. Jika anda melihat seorang perempuan menggunakan motif ini, maka ia adalah perawan. Jika anda ingin hal serupa saat ini, yakin dan percaya anda akan kecewa. Masyarakat BMMT saat ini memakai sarung tidak lagi memperhatikan nilai dan simbol dari sarung yang dipakainya. Aspek kecocokan warna, motif dan mode terbaru adalah pertimbangan utama.
MOTIF BALO LOBANG
Sebagai pasangan dari motif balo renni, motif balo lobang ini dikhususkan bagi Pria yang belum menikah. Garis dan kombinasi garis sangat berbeda, garisnya cenderung lebih tebal dan menghasilkan puluhan kotak-kotak yang besar pula. Dari segi warna, biasanya memilih warna terang yang garang seperti warna Cella (Merah), Cella Raka (Merah Menyala), Camara’ (Merah keemasan).
MOTIF TETTONG & MOTIF MAKKALU
Serupa dengan motif balo renni dan motif balo lobang, motif tettong dan motif makkalu juga memanfaatkan permaian garis dan kombinasi garis. Bedanya terletak pada jenis garis yang dipakai, jika pada motif balo renni dan balo lobang kombinasi garis tegak dan melintang akan ditemui dalam satu sarung. Maka pada motif tettong (berdiri tegak) yang ditemui, sementara pada motif makkalu (melintang dan melingkar) hanya garis melintang yang ditemui. Disebut makkalu karena ujung dari garis melintang pada motif ini akan bertemu kembali setelah ujung kain disatukan dengan cara dijahit. Ingat, kain sutera tidak bisa (bukan tidak boleh), dijahit dengan mesin jahit. Melainkan harus dijahit menggunkan jarum tangan. Nekat menggunkan mesin jahit fatal akibatnya. Salur Wennang Sau (lungsi), Bali Are / Sobbi (pakan) akan tercerabut.
MOTIF BOMBANG
Mungkin karena masyarakat BMMT terkenal dengan budaya baharinya, maka muncul pula motif bombang (Ombak) pada sarung suteranya. Sepintas, motif ini lebih cocok disebut motif bulu-bulu (perbukitan), motifnya serupa segitiga sama sisi yang berjejeran dan sambung menyambung. Tentu leluhur kita punya pertimbangan sendiri sehingga lebih memilih nama motif bombang dibanding motif bulu-bulu. Mungkin selain simbol jiwa bahari tadi, pertimbangan multi makna kata bulu-bulu tadi juga menjadi pertimbangan. Kata bulu-bulu dalam bahasa Bugis, selain bermakna perbukitan juga bisa bermakna milik yang melekat dan bulu yang tumbuh disekujur tubuh (selain rambut).
MOTIF COBO’
Serupa dengan motif bombang, motif cobo juga berbentuk segitiga. Bedanya, pada motof cobo bentuk segitiganya lebih ramping dan tinggi tegak dengan ujung yang lebih cobo’ (runcing) lagi. Segitiga pada motif cobo juga berjejeran melintang hingga bertemu diujung sarung setelah dijahit. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada (untuk tidak mengatakan “tidak ada”) satupun catatan yang menjelaskan sejarah dan siapa yang berhaka memakai sarung dengan motif cobo’ ini. Namun dalam kesehariannya, motif ini banyak dipakai oleh mereka yang akan melakukan proses pendekatan hingga proses melamar dalam adat Bugis. Bisa jadi motif Cobo’ ini adalah simbol dari keteguhan hati sang pria dan keluarganya untuk melamar pujaan hatinya.
MOTIF MOPPANG
Dari tujuh motif yang ada, inilah motif yang sudah punah, lebih dari 20 tahun penulis tidak pernah lagi molihat motif ini. Berbeda dengan keenam motif sebelumnya, motif ini tabu untuk dipakai diluar rumah oleh pria maupun perempuan. Lajang, sudah menikah ataupun Duda/duda. Motif ini hanya ditemui didalam kamar bagi mereka yang sudah berkeluarga. Jika tak disembunyikan dalam lemari, kadang pula disembunyikan bersama lipatan Kelambu. Bahkan ada yang menyembunyikan dibalik sarung bantal bersama bantal itu sendiri hingga disembunyikan dibawah kasur.
Kenapa sarung dengan motif ini sangat “disembunyikan”?, tentu ada alasan dan latar belakang. Sarung dengan motif ini dibuat khusus untuk melakukan proses “Siri’ dalam sarung”. Persenggamaan dalam sebuah sarung. Kaidah dalam kearifan lokal Bugis mengajarkan, proses persetubuhan hanya boleh dilakukan dalam sebuah sarung. Suami dan Istri, bersama-sama masuk dalam sebuah sarung (sekarang diganti dengan selimut). Inilah bentuk penghargaan adat Bugis terhadap harkat dan martabat perempuan. Seks tidak dimaknai sebagai pergumulan nafsu, melainkan sebentuk Kewajiban dan Hak yang memiliki tatanan dan tuntunan. Tehnik ini dikupas detail dalam Lontara Sebboq/Assikalabaineng, kitab percintaan ala Bugis. Mungkin serupa dengan Kamasutra ala India atau Serat Centhini ala Jawa.
Sarung ini dibuat dengan ukuran yang lebih besar, satu kali setengah hingga dua kali lebih besar dari sarung biasa. Penulis yakin, anda tentu tahu, kenapa sarung ini lebih besar ukurannya. Dahulu, sarung dengan motif ini akan dibuat oleh para gadis Bugis menjelang pernikahannya. Sederhananya, inilah tenunan terahir sang gadis selama masih perawan. Jangan berharap sarung ini dapat anda lihat akan dijemur atau dianginkan-anginkan oleh si empunya. Sarung ini tak pernah dicuci. Tak boleh ditampakkan kepada orang lain, ia adalah simbol aib bagi sepasang suami istri.
Sarung ini dibuat dengan kandungan kain sutera yang minim. Juga tidak memakai tambahan benang emas atau benang perak (Bugis : Gengang). Sekali lagi, tentu anda (terutama yang sudah menikah) tahu apa alasannya. Uniknya lagi, sarung ini tak diwariskan. Jika salah satu dari pasangan suami istri tadi meninggal atau berpisah karena cerai. Maka sarung ini akan dibakar, meski ada juga yang menyimpannya sebagai kenangan. Meski pada akhirnya akan dimusnahkan. Ingat, sarung ini pantang untuk diperlihatkan pada siapapun, termasuk anak sendiri. Maka ia tak boleh diwariskan.
Disebut motif moppang, karena dalam sarung ini hanya ada empat larik garis sejajar dan melintang (. Dua garis tipis setebal satu lebar jari telunjuk akan mengapit dua buah garis besar setebal lima lebar jari telunjuk pria dewasa. Jarak antara garis tipis dengan garis tebal adalah selebar lima lebar jari telunjuk pria dewasa. Sementara jarak antara kedua garis tebal tadi adalah selebar satu jari telunjuk dewasa. Dari jauh, garis-garis ini seolah berhadapan dalam posisi Moppang (tengkurap). Maka munculllah istilah lain dari motif ini, yakni Sioppangeng (Saling berhadapan). Satu jari tadi adalah simbol dari parewa alu-alunna sang pria, sedangkan lima jari adalah simbol lima lapis pelindung rahim sang perempuan (Jempa-jempa, kulit tubuh, mulut *maaf* vagina, selaput darah vagina dan mulut rahim sendiri).
Apakah keunikan sarung sutera hanya terletak pada motif semata?, bagaimana pula pergulatannya dengan trend dan mode modern saat ini? Bagaimana sejarah masukanya sarung di bumi Sulawesi? Apa hubungan sarung Bugis dari Sulawesi di dengan Sarung Samarinda di Kalimantan dan Kain Sutera di Palembang? Tunggu tulisan edisi berikutnya. sumber http://suryadinlaoddang.blogdetik.com